Pagi mulai beranjak siang saat Pak Tua
kedatangan anaknya dari kota. Di tangan kirinya masih tersampir jala yang
sedang diperbaiki. Tangan kanannya masih sibuk menelisik jelujur benang nylon,
menyusuri sisi-sisi yang koyak dari jala miliknya. Sinar matahari pantai yang
datang sedikit terhalang lelaki yang tegak berdiri. Wajah Pak Tua itu
menengadah, memandang sorot lelah dari kedua mata anaknya. "Ada apa?"
tanyanya pelan.
"Hidupku suram, Ayah," Mata
si anak nanar. "Usahaku baru saja gagal, dan keluargaku tak lagi membuatku
bahagia." Sang Ayah mengerti situasi semacam ini. Segera diletakkannya
jala dan kelosan benang. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan di
pantai?" Sang Ayah berusaha tersenyum, "Sudahlah, matahari pantai
pasti membuatmu cerah." Lelaku itu menurut. Wajahnya menoleh ke samping
saat sang Ayah menepuk-nepuk punggung. Ia juga berusaha tersenyum.
Pantai mulai ramai saat mereka mulai
berjalan. Anak-anak bermain dengan sekop dan ember, membentuk istana-istana
pasir dengan tangan mereka. Wajah-wajah yang ceria, membuat mereka tampak lebih
lucu. Di sebelah kanan, ada pekik gembira dari anak lainnya yang berkeliaran
menantang ombak. Mereka meloncat-loncat berusaha menghindari buih yang datang
dengan tiba-tiba. Kaki-kaki kecil itu membentuk tapak-tapak yang berbaris di
atas pasir pantai. Matahari yang mulai terik tak lagi dihiraukan. Anak-anak itu
tetap larut dengan kebahagiaan masa kecil yang hadir seakan tak akan berakhir.
Pasangan ayah dan anak itu pun
memperhatikan semuanya. Mata mereka tak lepas dari pemandangan yang ada di
sana. Namun, sang anak tetap hadir dengan tatapan yang kosong. Sang Ayah paham,
ia lalu membuka suara "Ingatkah kamu saat masih kecil dulu? Pertanyaan itu
dijawab pelan, "Ya, Ayah. Kenapa?" Tangan Ayah mengajak mereka menuju
sebuah pohon nyiur. Kemudian, duduklah mereka di atas sebuah pelepah kering
yang ada di sana. "Ya, tentu kamu masih ingat. Seperti anak-anak itulah
kamu saat itu. Riang, gembira, dan bahagia. Tak peduli kulitmu menghitam, dan
badanmu menggigil kedinginan. Kamu tetap berlari bersama ombak dan membuat
istana pasir."
"Cobalah, simak mereka lebih
dekat. Lihat sekeliling kita." Keduanya menerawang. "Apakah udara
yang kita hirup ini berbeda dengan yang dihirup anak-anak itu? Apakah sinar
matahari yang terkena di kulit kita ini tak sama dengan yang menimpa tubuh
mereka? Tapi mengapa engkau begitu murung, sedangkan mereka tidak? Mengapa
mereka bisa berwajah cerah sedangkan kamu tidak? Ya. Kita hidup pada matahari
yang sama, udara yang sama, dan pasir yang sama, tapi mengapa ada yang bias
memandangnya dalam situasi yang berbeda?"
"Lihatlah mereka. Lihatlah
istana-istana pasir yang mereka buat. Bukankah buih-buih itu selalu melenyapkan
istana-istana itu? Bukankah menara-menara pasir itu selalu tumbang dihantam
ombak? Bukankah air laut selalu datang merusakkan segalanya? Tapi, apakah
mereka berhenti mengayuhkan tangan untuk membangunnya kembali? Tidak. Apakah
mereka menyerah untuk menyusunnya kembali? Tidak. Anak-anak itu pasti akan
kembali mengumpulkan pasir dan membentuknya menjadi bangunan baru. Mereka akan
terus menata, menyusun, dan mendirikan istana-istana yang baru, menara-menara
yang baru, dan bangunan-bangunan yang baru." Air muka sang anak mulai
cerah. Ayah melanjutkan, "Ayo, kembalikan ingatan masa kecilmu. Buat
kembali istana-istana dan menara-menaramu.."
Mereka tersenyum. Mereka mulai
menyusuri pantai kembali. Mereka mungkin tak lagi muda, tapi lihatlah, keduanya
kini berkejaran bersanding dengan ombak. Langkah kaki keduanya beriringan cepat,
saling ingin mengalahkan. Ah, tubuh tua itu kalah sigap. Tubuhnya kini bergerak
ke atas, dan digendong anak lelakinya dari belakang. Keduanya tertawa lepas,
dan terjatuh bersama. Tubuh mereka basah dengan air laut, wajah dan kaki mereka
penuh dengan pasir. Buih-buih terlihat seperti perak yang terhampar. Keduanya
tampak seperti anak-anak kecil yang ada di sana. Mereka tampak bahagia.
***
Teman,
bukankah kita punya banyak persamaan? Ya, kita menjejak pada bumi yang satu,
bernaung pada langit yang sama, menghirup udara yang sama, dan mereguk air yang
sama. Tapi, mengapa ada orang yang melihatnya dalam situasi yang berlainan.
Mengapa ada orang-orang yang bahagia, bersandingan dengan orang yang muram,
mengapa ada orang yang gembira,beriringan dengan orang yang sedih hatinya?
Kita tidak sedang membuat suatu
generalisasi pada semua hal. Namun, tidakkah kita bisa mengambil sesuatu dari
sana? Ada kenyataan bahwa terkadang suatu hal dipandang baik atau buruk, bukan
karena penampakannya. Tapi, kita menciptakan sesuatu itu baik atau buruk,
bahagia atau tidak bahagia dari pikiran kita sendiri. Pikiran kita sendirilah
yang kadang mencuri bahagia yang Allah berikan. Benak kita sendirilah yang
kerap menyorongkan kesedihan yang berlarut.
Kita sering merasa iri kepada anak-anak
yang menyusun istana pasir di pinggir pantai. Mereka tak pernah lelah. Mereka
tak pernah berhenti mencipta. Tawa mereka selalu merekah, binar mata mereka tak
pernah hilang dari wajah. Buih, terik matahari, ombak dan air laut tak pernah dihiraukan.
Semua itu tak akan membuat mereka jera untuk membuat istana pasir. Mereka baru
berhenti saat senja menjelang, atau saat orang tua mereka memanggil. Tidakkah
kita bisa mengambil sesuatu dari sana?
Teman, bangkitkanlah ingatan masa
kecil, saat kita merasa sedih. Jadilah mereka yang selalu optimis memandang
hidup, yang selalu memenuhi hari-hari dengan rasa bahagia. Jadilah mereka yang
tak pernah lelah menyusun dan mencipta istana-istana pasir di pinggir pantai.
Jadilah mereka yang bisa tersenyum gembira, bermain bersama buih, berkejaran
bersama ombak, bercengkerama bersama hewan-hewan kecil dan daun-daun. Tidakkah
kita bisa mengambil sesuatu dari sana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar