Jumat, 01 Juni 2012

FINANCIAL POWER_ Quwwatul Maal

dakwatuna.com – SUATU hari Abdullah bin Abbas memakai pakaian paling indah dan mahal, berharga 10.000 dirham. Beliau bermaksud mengadakan dialog dengan kaum Khawarij yang memberontak. Orang Khawarij adalah golongan yang kuat beribadah tetapi meminggirkan ilmu dan tidak mau mempelajari al-Quran, fiqih dan hadits Rasulullah SAW. Mereka terkenal sebagai kaum yang picik, fanatik, puritan dan membenci siapa saja yang berseberangan paham dengan mereka.
Abdullah bin Abbas mandi dan memakai parfum paling harum, menyikat rambutnya serta mengenakan pakaian indah dan bersih. Beliau akan berhadapan dengan orang-orang picik yang memakai baju tebal dan tambalan, muka yang berdebu serta kusut masai.
Mereka berkata, “Kamu adalah anak bapak saudara Rasulullah SAW. Mengapa kamu memakai pakaian seperti ini? Abdullah bin Abbas menjawab, “Apakah kalian lebih tahu mengenai Rasulullah SAW dibanding saya? Mereka berkata, “Tentulah kamu yang lebih tahu.” Abdullah berkata lagi, “Demi Allah yang jiwaku dalam genggaman-Nya, sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah SAW berpakaian dengan mengenakan perhiasan berwarna merah dan itu adalah sebaik-baik perhiasan.”
Aisyah pada suatu ketika melihat sekumpulan pemuda berjalan dalam keadaan lemah, pucat dan kelihatan malas. Beliau bertanya, “Siapakah mereka itu?” Sahabat menjawab, “Mereka itu adalah kumpulan ahli ibadat.” Kemudian Aisyah berkata, “Demi Allah, yang tiada Tuhan selain-Nya. Sesungguhnya Umar bin al-Khattab adalah orang yang lebih bertaqwa dan lebih takut kepada Allah dibanding mereka itu. Kalau beliau berjalan, beliau berjalan dengan cepat dan tangkas. Apabila bercakap, beliau dalam keadaan berwibawa, jelas kedengaran percakapannya dan apabila beliau memukul, pukulannya terasa sakit.”
Pemahaman picik kaum khawarij adalah akibat memahami Islam secara tidak kaaffah (menyeluruh), memberatkan masalah ibadat yang sebenarnya mudah, sampai ke tahap berlebih-lebihan dan menyusahkan diri.
Begitulah keadaan sebahagian umat Islam yang lupa kepada wasiat Rasulullah SAW yang disampaikan kepada sahabatnya, Muaz bin Jabal ketika beliau dikirim menjadi Duta dakwah ke negeri Yaman. Kata Nabi saw: “Wahai Muaz, mudahkanlah setiap urusan, jangan memberat-beratkannya.”
Apakah Islam mengajarkan untuk membenci dunia? Kalau begitu, mengapa Abu Bakar al-Siddiq berbangga dengan harta kekayaannya untuk membela agama Allah? Begitu juga dengan Abdul Rahman bin Auf dan Utsman bin ‘Affan yang mengeluarkan hartanya untuk membiayai jihad di jalan Allah dengan dana dari kantong mereka sendiri.
Adakah Rasulullah SAW melarang mereka bekerja sungguh-sungguh untuk meraih keuntungan duniawi?
Bahkan di dalam al-Quran, Allah menegaskan bahwa jihad dalam menegakkan agama Allah wajib memiliki bekal persiapan. Firman-Nya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka dengan apa saja dari segala jenis kekuatan yang dapat kamu sediakan dari pasukan berkuda yang lengkap untuk menggetarkan musuh Allah dan musuh-musuhmu.” (Surah al-Anfal, ayat 60)
Bagaimanakah Islam akan menang jika umatnya adalah mereka yang berada dalam skala Negara Dunia Ketiga? Negara miskin dan terbelakang serta dikuasai oleh musuhnya. Apabila mereka hendak membeli makanan, mereka terpaksa meminta belas kasih orang lain.
Apakah zuhud itu berarti membiarkan dunia dimiliki dan dikuasai oleh musuh Allah? Sedangkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: “Apabila emas seberat gunung diamanahkan kepadaku, aku tidak akan tidur selagi ia tidak habis dimanfaatkan untuk umat Islam.”
Sebagai panduan bersama, ingatlah pandangan Shaikhul Islam al-Imam Ibnu Taimiyah. Beliau berkata: “Zuhud itu adalah kamu meninggalkan perbuatan yang tidak berfaedah untuk akhiratmu.”
Harta yang halal hendaklah dipastikan dikeluarkan juga pada tempat yang halal. Jangan mencari pada sumber yang halal’ tetapi membelanjakannya pada jalan maksiat. Atau kebalikannya, mengambil dari sarang penyamun dan membelanjakannya untuk ibadat.
Itu semua bertentangan dengan perintah Allah. Orang beriman percaya harta adalah titipan dan amanah Allah, pinjaman sementara dan apabila Allah menghendaki akan lenyaplah harta itu dari tangan kita. Cukuplah harta itu ada dalam genggaman, tetapi tidak menguasai hati kita.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya mengenai seorang lelaki yang memiliki harta kekayaan sebanyak 100.000 dinar uang emas. Dapatkah dia dikatakan sebagai seorang yang zahid? Beliau menjawab: “Lelaki itu dikatakan zuhud apabila ada dua sifat: Tidak terlalu bergembira ketika hartanya bertambah; Tidak terlalu berduka-cita apabila hartanya berkurang.
Nikmatilah dunia dan segala kesenangannya tetapi pastikan harta yang dimiliki tidak menahan langkah di akhirat kelak dan melambatkan perjalanan ke pintu surga. Karena semakin banyak harta, maka dapat dipastikan semakin rumit pula hisab perhitungan yang dilakukan, kecuali harta yang halal yang dibelanjakan untuk keridhaan Allah.
Boleh jadi para koruptor dapat menutupi hasil kejahatan dari pandangan manusia. Maka bagaimana dengan pengadilan Allah di akhirat kelak? Dapatkah mereka menyembunyikan hasil kejahatan mereka?
Islam menggalakkan umatnya bekerja sungguh-sungguh untuk meraih keuntungan duniawi. Semua kekayaan yang dianugerahkan Allah hendaklah dibelanjakan di jalan Allah. Rasulullah saw berpesan agar umat Islam tidak memberatkan masalah ibadat yang sebenarnya mudah dilakukan, sampai pada tahap berlebih-lebihan sehingga menyusahkan diri sendiri. Islam menghendaki umatnya kaya dengan harta benda agar tidak ditindas karena kemiskinan hanya membuat kita terus menjadi bangsa yang selalu mengemis mencari bantuan asing.
Allah telah mewajibkan jihad secara tegas kepada setiap Muslim. Tidak ada alasan bagi orang Islam untuk meninggalkan kewajiban ini. Islam mendorong umatnya untuk berjihad dan melipat gandakan pahala orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya apalagi yang mati syahid.
Jihad pun dapat dilakukan dengan harta benda (amwaal). Yaitu dengan zakat, infak, shadaqah, mengorbankan harta untuk membangun sarana pendidikan, sarana ekonomi, sarana kesehatan, dan lain-lain yang bertujuan untuk membangun kekuatan umat. Hal ini ditegaskan pada dalam surat Al Anfal ayat 60:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”
Dalam ayat tersebut Allah menegaskan agar kaum muslimin senantiasa melakukan berbagai persiapan (baca: tidak asal-asalan) untuk menghadapi setiap upaya konspirasi kebatilan yang dijalankan oleh musuh-musuh Allah. Persiapan-persiapan tersebut hendaklah bersifat menyeluruh dengan mencakup semua lini kekuatan dan aspek kehidupan umat.
Sudah saatnya Islam melaksanakan jihad secara terencana dan terorganisasi, dan bukan semata-mata mengandalkan emosi. Jihad yang terorganisasilah yang akan dapat menggentarkan musuh-musuh Allah.
Kita semua paham bahwa ada 5 (lima) kekuatan yang harus dimiliki kembali oleh umat Islam kalau kita mau maju. Kekuatan tersebut adalah kekuatan iman, kekuatan ilmu, kekuatan persaudaraan, kekuatan harta dan kekuatan angkatan perang. Seluruh kekuatan ini ternyata memang ada dalam masyarakat Rasulullah. Kita akan membahas satu kekuatan yang dapat kita jadikan pelajaran dalam pembinaan umat ini, yaitu kekuatan harta (Quwwatul Maal).

A. Harta itu milik Allah (Al Maalu Lillah) المال للّه
dakwatuna.com – Allah SWT adalah Dzat yang memberikan jaminan rezki kepada kita, ini menunjukkan bahwasanya Allah pun berhak mengatur peruntukan rezki yang ada pada kita. Manusia yang tidak menyadari akan hal ini menganggap bahwasanya rezki itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri tanpa ada campur tangan Allah SWT. Perilaku ini digambarkan oleh Allah SWT ketika menceritakan tentang kepicikan Karun. Allah berfirman:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
Karun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (QS. Al-Qashash: 78)
Tuntutan yang dikehendaki Allah terkait dengan harta kita adalah dalam bentuk Infaq di jalan Allah SWT untuk menegakkan agama-Nya di muka bumi ini.
Dari Abu Hurairah ra. katanya, Rasulullah saw bersabda: ”Kelak bumi akan memuntahkan jantung hatinya berupa tiang-tiang emas dan perak. Maka datanglah seorang pembunuh seraya berkata: ”Karena inilah aku jadi pembunuh. Kemudian datang pula si perompak, lalu berkata: ”Karena inilah aku putuskan hubungan silaturrahim. Kemudian datang pula si pencuri seraya berkata: ”Karena inilah tanganku dipotong” Sesudah itu mereka tinggalkan saja harta kekayaan itu, tiada mereka mengambilnya sedikitpun.” (Muslim)
Pada dasarnya semua manusia menyenangi kekayaan dan harta benda. Kadangkala karena mengejar harta, didominasi hawa nafsu dan bisikan syaitan malah ada manusia yang sampai rela berbunuh-bunuhan, merampok, korupsi bahkan memutuskan silaturrahim. Dunia dicipta sebagai ujian buat manusia, siapakah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya harta dunia tidak akan membawa arti apa-apa jika tidak dimanfaatkan ke jalan yang diridhai Allah.
Hakikat harta diterangkan Rasulullah saw seperti sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
“Seorang hamba (manusia) berkata, ‘Hartaku, hartaku!’ Padahal hartanya itu sesungguhnya ada 3 jenis: (1) Apa yang dimakannya lalu habis. (2) Apa yang dipakainya lalu lusuh. (3) Apa yang disedekahnya lalu tersimpan untuk akhirat. Selain yang 3 itu, semuanya akan lenyap atau ditinggalkan kepada orang lain”. (Muslim)
Harta pada dasarnya bersifat netral. Ia tidak mulia atau hina, baik atau buruk. Ia lebih sebagai ujian bagi sifat dasar manusia terhadap Allah SWT. Dengan harta itu, mampukah ia menjadi hamba yang lebih dekat kepada−Nya, atau justru menjadi budak harta yang terlena dan terpedaya olehnya. Pendek kata, ia merupakan cobaan bagi keimanan dan ketaatan hamba kepada Sang Pencipta. Firman Allah SWT:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
”Sesungguhnya hartamu dan anak−anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. At−Taghabun: 15).
Ayat di atas tidak hanya memastikan bahwa harta adalah ujian, namun juga menunjukkan sesungguhnya harta juga jenis kenikmatan duniawi lainnya seberapa pun besarnya, tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan Allah. Sebanyak apa pun harta yang dimiliki seseorang, ia tetap kecil di hadapan Allah dan tidak kekal. Tapi, yang bernilai adalah ketika harta itu bisa difungsikan dengan tepat, sesuai dengan yang Allah amanahkan. Jika demikian, maka pahala di sisi Allahlah yang menjadi balasannya.
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar (sementara). Dan, akhirat itu lebih baik untuk orang−orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (QS. An−Nisaa’: 77).
Description: http://www.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2010/01/quwwatul-maal-250x200.gif
Rasmul Bayan "Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)"
Begitulah Allah SWT menjelaskan hakikat harta dan segala kenikmatan dunia lainnya. Sebagai ujian, ia ditimpakan kepada siapa saja, lintas strata, dan tanpa pandang bulu: orang kaya, orang miskin, cendekiawan, pejabat, dan bahkan agamawan. Masing−masing diuji dengan harta yang ada pada mereka.
Kesadaran memahami kehidupan dunia sebagai ujian semacam ini perlu dibangun agar harta tidak membutakan mata hati dan memalingkan manusia dari Allah SWT.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
”Hai orang−orang yang beriman, jangan sampai harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari Allah. Siapa yang terlalaikan oleh harta dan anak, maka mereka itulah orang−orang yang rugi.” (QS. Al−Munafiqun: 9).
Karena itu, sikap terbaik dalam menjalani hidup adalah berperilaku zuhud. Zuhud adalah sikap di mana kita tidak merasa bangga, buta hati, dan terpedaya dengan harta dan segala kenikmatan dunia. Sebaliknya, kita juga tidak merasa kehilangan dan berduka ketika segala kenikmatan tersebut dicabut dari kita. Allah berfirman:
لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
”Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan−Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 23).
Orang yang bersikap zuhud niscaya akan selalu tenang menjalani hidup dan selalu merasa cukup dan puas dengan apa yang ada pada dirinya. Ia tidak sombong dan terlena dengan harta karena menyadari betul ia hanyalah amanah dari Allah untuk dipergunakan dengan tepat.
Seorang sufi menyatakan, ”Kekayaan itu adalah kepuasan.” Yakni, puas dengan apa yang ada pada kita. Suburnya korupsi di negeri ini, antara lain, karena banyak dari kita yang rakus, tidak amanah, dan telah diperbudak oleh harta. Orang yang demikian tidak akan ada puasnya. Sebab, ia sudah dikendalikan oleh harta dan bukan dia yang mengendalikan harta.

B. Kebutuhan Jihad akan Harta (Ihtiyajatul Jihad)
إحتياجات الجهاد
Jihad yang sempurna dilakukan dengan jiwa, harta dan lisan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Berjihadlah kalian menghadapi kaum musyrikin (kafirin) dengan harta, jiwa dan lisan kalian.” (HR. Abu Daud dan lainnya)
Itulah jihad yang sempurna dan totalitas. Namun demikian, dalam keadaan tertentu bisa saja ada sesuatu yang menghalangi orang untuk dapat berjihad secara langsung. Dalam keadaan demikian tidak berarti ia tidak mengambil bagian dalam jihad sama sekali. Ibnul Qayyim Al-Jauzi berpendapat dalam Zaadul Ma’ad bahwa apabila seseorang tidak berangkat ke medan jihad (tidak berjihad dengan jiwa)maka ia tetap wajib berjihad dengan harta.
Di antara keutamaan berjihad dengan harta adalah dicatat sebagai orang yang ikut berjihad dan merupakan shadaqah yang paling utama. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menyiapkan kendaraan perang di jalan Allah berarti ia telah ikut berperang, dan barang siapa meninggalkan perang tetapi menggantinya dengan kebaikan berarti ia pun telah ikut berperang.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).
Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mengkarantina kuda perang untuk berjihad di jalan Allah, maka kenyang dan kotorannya (maksudnya segala upaya untuk mengenyangkannya dan tenaga untuk membersihkan kotorannya) akan ditimbang oleh Allah pada hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Description: http://www.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2010/01/quwwatul-maal-250x200.gif
Rasmul Bayan "Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)"
Hudzaifah Ibnul Yaman, yang biasa dikenal sebagai shohibussirri (intel) Rasulullah SAW, senantiasa mencemaskan hal-hal yang akan membawa kepada fitnah dan kerusakan. Dalam kaitan amar ma’ruf nahi munkar, beliau mengingatkan bahwa orang-orang yang menentang kemunkaran dengan hati, lisan dan perbuatannya adalah bentuk keimanan yang sempurna. Barang siapa menghadapi dengan hati dan lisannya tetapi tidak dengan perbuatannya maka ia telah terjatuh satu kakinya. Barang siapa menghadapi kemunkaran dengan hati dan tidak dengan lisan dan perbuatan maka sudah terjatuh kedua kakinya. Dan barang siapa menghadapi kemunkaran tidak dengan hatinya, lisannya dan perbuatannya maka ia telah menjadi mayat.
Hudzaifah menganggap orang-orang yang tidak memiliki kepedulian dalam melawan kemunkaran dan tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam penentangan terhadap kezhaliman sama dengan orang mati. Sebuah perumpamaan yang sangat tepat mengingat keberadaannya sudah tidak lagi diperhitungkan dalam barisan kaum Muslimin, wujuduhu ka adamihi (eksistensinya tidak diakui), ia telah mati sebelum ajalnya tiba. Orang-orang seperti itu kelak pada gilirannya akan digantikan oleh Allah dengan generasi yang lebih baik, sebagaimana firman-Nya:
هَاأَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allahlah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).” ( Qs. Muhammad: 38)
Seorang mukmin sejati, pantang untuk digantikan dan pantang untuk mundur dari gelanggang dakwah dan jihad fii sabilillah. Karena dengan demikian dia akan hancur dipermainkan oleh musuh-musuh Allah dalam keadaan terhina. Sebaliknya ia akan senantiasa memompa semangatnya untuk berjihad di jalan Allah dan menegakkan dakwah baik dengan hati, lisan dan perbuatannya. Laa izzataillaa bijihaadin (tidak ada kemuliaan kecuali dengan jihad).
لَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِينَ
“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. At-Taubah: 44)
Seorang dai seyogianya menjadi titik sentral dari orang-orang yang mengikutinya. Dalam hal mobilisasi infak untuk aktivitas dakwah banyak potensi yang masih terbuka lebar tanpa harus berebut lahan. Bagaimana tidak, menurut perhitungan para ahli jika benar-benar umat ini memobilisasi dana zakat akan didapatkan dana segar sebesar 7 trilyun untuk membangun umat. Dan jika ditambah dengan infak tidak kurang dana yang terkumpul sekitar 35 trilyun rupiah. Sebuah angka yang menjadi modal bagi kebangkitan umat di masa mendatang.
Semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan kepada kita dalam meniti jalan dakwah ini betapa pun beratnya ujian yang harus dihadapi. Dan semoga Allah memberikan quwwatut ta’tsir pada diri kita, sehingga lebih banyak lagi orang yang tertarik kepada kita dan menyerahkan hartanya untuk penegakan dakwah dan jihad fii sabilillaah.


C. Jihad Harta Upaya Perimbangan Dalam Menghadapi Musuh Dakwah

التوازن في مواجهة الاعداء
Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, jihad dengan harta merupakan jihad yang melengkapi bentuk jihad lainnya. Dengan demikian, segala bentuk jihad Islam pasti memerlukan jihad harta ini. Di sinilah peranannya yang sangat vital untuk mensukseskan misi-misi jihad lainnya. Tanpa ditunjang harta, jihad lainnya akan terhambat ataupun tidak mustahil menemui kegagalan.
Dr. Said Hawwa dalam bukunya Jundullah menulis tentang jihad harta ini,
“Sebenarnya jihad dengan harta (jihad bil-mal) ini merupakan bagian vital dari jihad-jihad yang lain. Risalah dakwah tidak akan berjalan dengan sempurna tanpa adanya bantuan logistik dan dana yang kuat, lebih-lebih ketika sedang mempersiapkan kekuatan dalam rangka menghadang kekuatan musuh. Setiap gerak dakwah tidak bisa terlepas dari masalah dana, sebab dalam pelaksanaannya, dakwah memerlukan sarana dan prasarana, apalagi untuk berdakwah di zaman sekarang ini.
Jihad lisan memerlukan banyak dana guna mencetak buku, surat kabar, pamflet, majalah, dan sebagainya, sedangkan jihad pendidikan memerlukan banyak dana untuk membiayai pembentukan lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran representatif yang ditunjang peralatan secara memadai serta tenaga-tenaga pendidik yang profesional.
Jihad fisik dengan berbagai macamnya memerlukan banyak dana untuk pengadaan senjata, peralatan tempur yang canggih, logistik, dan biaya tunjangan untuk para syuhada. Jadi jelaslah, jihad yang tidak didukung oleh kekuatan dana yang memadai akan mengalami berbagai kegagalan. Oleh karena itu, dalam berbagai ayat Al-Qur’an, Allah SWT mengaitkan jihad dengan harta dalam suatu rangkaian kalimat”
Untuk melaksanakan jihad dengan harta ini, seorang muslim yang telah memenuhi syarat untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah, harus mengeluarkannya sebagaimana yang telah diperintahkan Islam, baik di medan dakwah, pendidikan, politik, sosial, peperangan, dan medan jihad lainnya. Berikut ini akan dinukilkan beberapa pendapat ulama tentang masalah ini, terutama yang sering dilupakan/dilalaikan kaum muslimin.
Di sini tidak dibahas bentuk-bentuk pembelanjaan, seperti membangun masjid, madrasah, menyantuni fakir miskin, membiayai peperangan, dan hal-hal yang sudah umum diketahui masyarakat, namun beberapa hal yang kurang disentuh, bahkan sering ditelantarkan karena salah pengertian.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqhuz-Zakah menulis tentang beberapa bentuk jihad masa kini yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut
  • Mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam yang representatif di negara Islam, sebagai pusat ta’lim dan tarbiyah bagi generasi muda Islam, menyampaikan/mengajarkan ajaran Islam secara sharih ‘jelas’ dan benar, membentengi aqidah dari bahaya kemusyrikan dan kekufuran, memelihara kemurnian pola pikir islami agar tidak tergelincir, serta mempersiapkan diri untuk membela Islam dan menghalau musuh-musuhnya.
  • Mendirikan pusat kegiatan bagi kepentingan penyiaran dakwah Islam ke luar (non muslim) di semua benua, terutama yang sedang berkecamuk dalam berbagai macam pergolakan pemikiran dan ideologi.
  • Mendirikan unit usaha di bidang percetakan, baik berupa surat kabar, majalah tabloid, maupun brosur-brosur, untuk menangkis berita-berita dari luar yang merusak dan memutarbalikkan fakta kebenaran Islam, membuka tabir kebohongan musuh-musuh Islam, serta menjelaskan Islam yang sebenarnya.
  • Termasuk di dalamnya adalah penyebaran buku-buku Islam dari penulis-penulis Islam yang bersih, yang mampu menyebarkan ide/pikiran Islam dan membangkitkan semangat umat Islam, yang mampu mengungkap mutiara-mutiara Islam yang selama ini tertutupi oleh derasnya buku-buku Islam karya para orientalis, islamolog-islamolog Barat dan Timur yang kafir. Untuk semua itu, diperlukan tenaga-tenaga tangguh, berdedikasi, jujur, amanah, beridealisme dan bercita-cita tinggi, ber-iltizam pada manhaj Islam, bekerja penuh perhitungan, dan ikhlas karena Allah semata.
Dr. Said Hawwa menulis dalam bukunya Kai lam Namdhi Baidan an Ihtiyajat al-Ashr,
“Sebagai konklusi dari banyak ukuran syariat, saya berpendapat bahwa sekarang ini dibenarkan memberikan zakat kepada lima kelompok dengan tetap menjaga pelaksanaan-pelaksanaan zakat yang lain, fatwa, dan takwa. Mereka itu adalah sebagai berikut  Gerakan-gerakan jihad Islam. Gerakan-gerakan dakwah dan para dai yang menyuruh kepada Allah; Pendidikan yang melahirkan tokoh-tokoh agama.; Pendidikan yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan spesialis dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan kaum muslimin; Jamaah-jamaah Islam Internasional.
Jika masyarakat Islam memiliki universitas yang mengelola masalah-masalah ini dan memang memenuhi syarat karena di situ terdapat banyak tenaga ahli yang dapat dipercaya, di samping universitas ini melaksanakan putusan fatwa yang berwawasan luas yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, maka membantu lembaga ini merupakan langkah yang paling mendekati orang yang mendekat kepada Allah menuju jalan yang hendak ditempuh.”
Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menulis, “Wajib dipelihara dalam aturan lembaga infak dan zakat bahwa sabilillah tetap mempunyai hak atasnya karena mereka memiliki suatu sasaran, yaitu berbuat untuk mengembalikan hukum Islam. Tindakan ini lebih baik (lebih penting) daripada perang karena mereka memelihara hukum Islam dari serangan orang-orang kafir. Cara lain dalam berdakwah serta membela hukum Islam apabila sulit untuk mempertahankannya dengan pedang, kekuatan, dan perang, adalah dengan lisan dan tulisan.”
Selanjutnya, beliau menulis, “Yang benar, sabilillah adalah kepentingan-kepentingan umum kaum muslimin yang menegakkan kepentingan agama dan negara, bukan pribadi-pribadi. Adapun proses perjalanan haji individu-individu (masyarakat) tidak termasuk dalam kategori ini karena haji hanya diwajibkan kepada orang-orang yang mampu saja; di samping itu, haji merupakan fardhu ain seperti halnya shalat dan puasa, bukan termasuk kepentingan-kepentingan dunia-kenegaraan.
Akan tetapi, syiar haji dan pelaksanaan umat termasuk kategori ini sehingga bisa dibiayai dari jatah sabilillah ini guna mengamankan jalur-jalur transportasi yang akan dilalui dalam perjalanan haji, menyediakan air, makanan, dan sasaran-sasaran mudik untuk para jamaah haji kalau memang tidak ada dana lain.”
Selanjutnya dia menulis, “Orang-orang yang berjuang fi sabilillah mencakup kepentingan-kepentingan syariat secara umum yang merupakan inti persoalan agama dan negara yang terpenting, yaitu mendahulukan persiapan perang dengan membeli senjata dan logistik untuk para pasukan, sarana-sarana angkutan, mempersiapkan para pejuang, dan sebagainya. Di antara langkah sabilillah yang terpenting di zaman ini adalah mempersiapkan dai dan mengirimkan mereka ke negara-negara kafir dengan dikelola oleh organisasi-organisasi yang manajemennya teratur rapi, yang memberikan dana yang cukup kepada mereka.”
Asy-Syahid Sayyid Quthb dalam Fi Zhilaalil-Qur’an menulis, “Sabilillah adalah pintu lebar yang mencakup semua kepentingan masyarakat yang ingin merealisasikan kalimat Allah. Yang paling penting di antaranya adalah mempersiapkan jihad, mempersiapkan dan melatih para sukarelawan, mengutus dai Islam, menjelaskan hukum-hukum dan syariat-syariat Islam kepada segenap manusia, mendirikan sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang mendidik putra-putri Islam secara islami dan benar, sehingga kita tidak perlu menitipkan mereka di sekolah-sekolah pemerintah yang mengajarkan segala ilmu pengetahuan kecuali Islam, maupun sekolah-sekolah yang dikelola oleh para misionaris yang mengikis keimanan mereka sejak anak-anak padahal mereka tidak punya daya penangkal untuk menghadapi pendangkalan iman itu.”
Demikianlah beberapa medan jihad yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin saat ini dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sangat perlu kita bahas, di antara yang disebutkan itu, manakah yang lebih utama (afdhal), karena Islam memerintahkan kepada pengikutnya agar mencari yang lebih utama dalam membelanjakan harta ini. Said Hawwa dalam Kai Lam Namdhi menulis. Firman Allah SWT,
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
“Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak….,’ (Qs. Al-Baqarah: 269)
Ayat di atas diturunkan dalam konteks ayat-ayat yang memerintahkan agar berinfak yang disebut dalam surah al-Baqarah, sebab ayat ini mendahului firmanNya,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
‘Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik….’ (Qs. Al-Baqarah: 267)
Di antara hikmah yang paling menonjol dari konteks ayat-ayat tersebut adalah meletakkan infak-infak sesuai dengan tempatnya. Itulah fenomena hikmah yang paling tinggi karena memang akan melahirkan banyak kemaslahatan dan jasa.”
Pada kenyataannya, masih banyak hartawan muslim yang kurang jeli dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sebagai contoh, banyak hartawan Timur Tengah yang jika menginfakkan hartanya kepada negara-negara miskin, hanya mau memberikannya kepada masjid ataupun madrasah dalam pembangunan fisiknya. Walaupun sudah banyak masjid dibangun bahkan dengan megahnya, namun sedikit sekali dimanfaatkan jamaah, baik untuk shalat berjamaah maupun aktivitas-aktivitas keislaman lainnya.
Semua ini tentu akibat dari ketidakmengertian, kebodohan, dan kemalasan mereka. Apalah artinya masjid megah dengan segala kelengkapannya jika tidak bermanfaat membimbing manusia menuju hidayah Islam. Apakah yang terpenting, bangunan megah sebuah masjid ataukah mendidik manusia-manusia yang akan memanfaatkannya? Membangun gedung megah itukah yang lebih afdhal ataukah membiayai pendidikan ulama dan dai yang akan mengarahkan mereka? Di sinilah hartawan muslim dituntut kejeliannya.
Mengenai masalah ini, Said Hawwa menulis dalam Kai Lam Namdhi, “Akan kami buatkan tiga ilustrasi:
  • potret orang yang membantu orang yang tunawicara, tunarungu, dan tunanetra;
  • potret orang yang membela seorang pekerja yang tidak mempunyai bahan makanan;
  • potret orang yang menyisihkan zakatnya untuk melahirkan seorang alim yang mengajak kepada Allah.
Tak pelak lagi, barangsiapa yang membantu yang mana pun juga dari tiga ilustrasi tersebut, dia adalah orang yang bijak dan berjasa. Akan tetapi, dari ketiga ilustrasi itu, manakah yang paling banyak hikmah dan pahalanya?
Orang yang menyeru kepada Allah dengan berbekal ilmu dan pengalaman, yang menyebabkan Allah membuka sekian banyak kalbu, akal, dan kantong manusia, akan melahirkan banyak limpahan rahmat yang hanya Allah yang mengetahuinya, kemudian menghidupi banyak keluarga, bahkan bangsa. Berkat nasihat-nasihat yang disampaikannya, banyak orang yang terdorong membayar zakat dan menerima agama Allah. Dari aspek ini dan aspek-aspek lain, jelaslah bahwa potret yang ketigalah yang paling banyak manfaat dan pahalanya.
Andaikata seseorang mengeluarkan zakatnya untuk membiayai seorang dai yang mengajak kepada Allah di suatu wilayah yang didominasi oleh kebodohan, kefasikan, kemaksiatan, dan kemurtadan, lalu si dai berhasil mengajak orang-orang tersebut dan generasi-generasinya kembali ke dalam pangkuan Islam, bukankah Anda sependapat bahwa orang-orang tersebut dan generasi-generasinya berada dalam barisan orang yang bersedekah itu? Bukankah pahala orang ini dan hikmahnya lebih besar dibandingkan saudara kita yang ada dalam potret terdahulu padahal masing-masing dari kedua orang ini telah memperbaiki usahanya?”
Selanjutnya, beliau menulis, “Ada banyak kondisi di mana kita dianjurkan untuk bersedekah dalam membangun masjid-masjid. Ada banyak kondisi yang memperbolehkan kita memberikan fatwa agar kita menyerahkan zakat/infak untuk membantu kondisi itu. Barangsiapa menyerahkan zakat kepada salah satu dari dua kondisi itu, berarti ia mendapat yang baik.
Akan tetapi, ada ukuran-ukuran syariat yang harus kita tempatkan dalam perhitungan ini, misalnya keluarga, tetangga, dan penduduk setempat didahulukan atas pihak-pihak lain; orang yang lebih rajin menjalankan kewajiban didahulukan atas yang lain; kewajiban-kewajiban yang terbengkalai harus mendapat perhatian lebih khusus; menghidupkan kewajiban-kewajiban yang ditinggalkan orang didahulukan atas kepentingan-kepentingan lainnya; menegakkan kewajiban-kewajiban fardhu ‘ain dan fardhu kifayah harus mendapat perhatian khusus, dan sebagian fardhu kifayah harus didahulukan bergantung pada waktu dan tempat.
Semua itu harus dicamkan betul oleh seorang pembayar zakat ketika hendak menyerahkan zakatnya. Ketepatan menjatuhkan pilihan kepada siapa zakat dan sedekah itu akan diserahkan, merupakan salah satu fenomena kebajikan dirinya. Kalau ia tepat menyerahkannya kepada bidang yang paling bermanfaat, berarti ia berhak mendapat pahala yang paling banyak. Dalam keadaan bagaimanapun juga, ia akan mendapat pahala asalkan niatnya benar.”
Demikianlah beberapa kaidah yang perlu diperhatikan oleh para hartawan muslim dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah agar apa yang dilakukannya mendapat balasan di sisi Allah. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk menginfakkan harta di jalan Allah harus benar-benar jeli dalam memperhitungkannya. Setiap tempat dan kondisi tertentu berbeda pelaksanaannya dengan tempat dan kondisi lainnya, sebagaimana dikemukakan Said Hawwa.
Sebagai ilustrasi, dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim terdapat banyak ulama dan sarana pendidikan Islam, namun tidak dapat berbuat banyak karena dikuasai pemerintah kuffar yang dilengkapi dengan fasilitas militer. Dalam kondisi seperti ini, membebaskan negara tersebut dari pemerintah kuffar harus diutamakan. Semua pembelanjaan harus dikerahkan ke sana, seperti melatih pasukan/tentara Islam, mempersenjatai mereka dengan segala kelengkapannya, mendidik ulama dan dai yang mengarahkan umat agar berjihad, dan memperlengkapi sarana menuju ke sana adalah lebih utama dari pekerjaan lainnya.
Apalah artinya membangun masjid besar, sarana pendidikan lengkap jika akan dipergunakan memperkuat kekuasaan pemerintah kuffar tersebut ataupun tidak dapat difungsikan sebagaimana dikehendaki Islam.
Dalam kondisi seperti ini, membelanjakan harta untuk pembebasan ini adalah lebih utama daripada yang lainnya karena pembebasan negara dari cengkeraman pemerintah kuffar adalah pintu menuju pelaksanaan ajaran Islam secara sempurna dan murni. Karenanya, membantu gerakan-gerakan Islam yang akan membebaskan bumi ini dari cengkeraman pemerintah-pemerintah kuffar dan kaki tangannya adalah pekerjaan yang sangat besar dan mulia, memiliki hikmah tertinggi di hadapan Allah. Semua usaha menuju ke arah sana harus dibantu sepenuhnya oleh hartawan muslim yang menghendaki hikmah.
Demikian pula halnya ketika umat Islam tidak memiliki ahli dalam bidang-bidang tertentu yang akan memperkuat kejayaan Islam, membelanjakan harta untuk melahirkan ahli spesialis tersebut adalah utama. Apalah artinya kelengkapan fasilitas yang dimiliki umat Islam jika tidak ada yang mengelolanya secara maksimal.


D. Distribusi Infaq Fii Sabilillah (Pengaturan Sumber Dana)
dakwatuna.com – Kebanyakan kaum muslimin ataupun gerakan-gerakan Islam dewasa ini kurang memperhatikan pengaturan dana yang kontinyu dalam menjalankan aktivitas perjuangannya. Jika ada, itu pun hanya kerja sambilan yang kurang diperhatikan. Mereka hanya mengharapkan sumbangan dari donaturnya, baik sebagai anggota maupun simpatisan. Mereka kurang mengembangkan potensi perekonomian Islam dan kaum muslimin untuk melancarkan sumber dana, yang mana ini pun merupakan salah bentuk jihad yang harus dilaksanakan.
Pada saat kaum muslimin belum memiliki negara yang dapat menjamin dana perjuangan dan langkanya para hartawan muslim yang seharusnya menjadi donatur bagi perjuangan Islam, mereka yang kaya telah terjangkiti penyakit kikir sehingga tidak mau mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Di samping itu, ada pula hartawan muslim yang berkeinginan mengeluarkan hartanya membantu perjuangan Islam, namun dihantui ketakutan penangkapan dan penyiksaan dari penguasa-penguasa zhalim vang anti-Islam. Masih banyak lagi faktor yang menahan hartawan muslim mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Hal ini jelas akan menyusahkan perjuangan Islam karena kekurangan dana. Banyak program pokok dalam perjuangan terbengkalai akibat ketiadaan dana. Bagaimanapun, dana sangat penting bagi keberhasilan misi perjuangan.
Sementara itu, musuh-musuh Islam, pasukan-pasukan thagut, terus melancarkan operasi penghancuran dan penghapusan Islam dengan berbagai fasilitas dan tunjangan dana besar dari para donaturnya yang memiliki jaringan internasional. Apakah karena ketiadaan dana ini menyebabkan pejuang-pejuang fi sabilillah mundur dari perjuangannya dan membiarkan pengikut-pengikut iblis yang dilaknat Allah itu menyesatkan manusia. Apakah ketiadaan dana ini mendorong mereka mengemis pada musuh-musuh Islam untuk memberikan dana bagi perjuangannya dengan syarat mereka harus melacurkan aqidahnya, atau hanya pasrah saja menunggu dana dari donatur; jika dana sudah tersedia, baru menjalankan aktivitas perjuangan.
Semua ini adalah pekerjaan orang-orang frustasi, orang-orang yang kalah mentalnya dalam berinteraksi dengan kejahiliyahan. Inilah sifat tercela yang harus dijauhi pejuang-pejuang fi sabilillah. Kita yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Yang Maha Kaya dan Maha Kuasa pasti akan mendatangkan bantuan-Nya, namun apakah bantuan itu akan datang dengan sendirinya tanpa ikhtiar sungguh-sungguh dari pejuang-pejuang suci ini. Bukankah Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berusaha semaksimal kemampuannya untuk menegakkan din-Nya, kemudian dengan usaha sungguh-sungguh itulah Allah mendatangkan bantuannya, sebagaimana disebutkan Al-Qur’an,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Dengan demikian, Allah hanya akan menolong hamba-hamba-Nya yang sudah berikhtiar dengan seluruh kemampuannya, bukan orang-orang yang patah semangat kemudian tidak berbuat.
Untuk menanggulangi kekurangan dana dalam perjuangan, saat ini diperlukan usaha-usaha perekonomian yang dapat menghasilkan dana, baik dalam usaha perdagangan, pabrik, jasa, maupun usaha-usaha halal lainnya. Tentu, usaha ini dikelola sesuai dengan perkembangan sistem perekonomian modern yang sesuai dengan Islam, dilaksanakan oleh orang-orang yang amanah dan bertanggung jawab, memiliki komitmen yang kuat terhadap perjuangan Islam dan profesional di bidangnya, di bawah kontrol lembaga perjuangan Islam, baik secara langsung jika hal ini memungkinkan maupun tersembunyi.
Sangat bijak jika pergerakan Islam melaksanakan usahanya secara sembunyi (rahasia), terutama di negara-negara yang penguasanya anti-Islam, tidak terang-terangan secara langsung mengatasnamakan lembaga perjuangannya dalam aktivitas perekonomian, misalnya atas nama pribadi yang dibiayai dan dikontrol lembaga. Cara semacam ini menjaga kemungkinan musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkan perjuangan dari sumber kekuatan ekonomi karena mereka senantiasa berusaha untuk itu dengan menghalalkan segala cara.
Usaha-usaha perekonomian itu harus dilakukan dengan menjalankan sistem perekonomian Islam. Baik berupa syirkah, mudharabah, murabahah, qiradh, dan sejenisnya yang tidak terkontaminasi sistem ekonomi non-Islam. Misalnya, beberapa anggota pergerakan yang memiliki kelebihan harta mengumpulkan modal untuk dijalankan. Kemudian dari keuntungan usaha tersebut disisihkan bagian untuk dana perjuangan. Atau seseorang/beberapa orang yang memiliki modal dan yang lainnya mendirikan usaha. Keuntungan dari usaha itu dibagi antara pemberi modal dan yang menjalankannya kemudian disisihkan bagian untuk perjuangan Islam.
Atau sebuah pergerakan Islam yang memiliki dana cukup, kemudian membuka usaha sebagai bagian dari aktivitasnya sebagai sumber dana perjuangan; dan lain-lain bentuk perekonomian yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan dijalankan dengan manajemen modern dan profesional.
Dengan usaha-usaha pengaturan dana melalui perekonomian ini, para pejuang fi sabilillah tidak perlu bersusah payah mengemis pada orang-orang kikir ataupun musuh-musuhnya dan tidak perlu terlalu mengharapkan bantuan yang belum pasti datangnya. Dengan usaha yang bersungguh-sungguh dan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya, rahmat dan pertolongan Allah akan senantiasa datang kepada pejuang di jalan Allah. Selain itu, dapat dilihat keberhasilan yang telah diperoleh pejuang-pejuang di jalan Allah yang menaruh perhatian besar terhadap pengaturan sumber dana ini, bahkan menjadikannya sebagai bagian dari perjuangan yang mesti digarap, tidak kalah pentingnya dengan jihad lainnya.
Description: http://www.dakwatuna.com/wp-content/uploads/2010/01/quwwatul-maal-250x200.gif
Rasmul Bayan "Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)"
Sebagai contoh, Imam Syahid Hasan al-Banna sangat menaruh perhatian pada aspek perekonomian ini. Gerakannya mampu mengorganisasi usaha-usaha perekonomian, bahkan pabrik-pabrik besar, sebagai sumber dana perjuangannya. Usahanya itu dikelola oleh jamaah secara profesional. Demikian pula halnya dengan gerakan ekonomi yang dikelola gerakan al-Arqam, yang berpusat di Malaysia, dengan pabrik-pabrik dan usaha perdagangan yang cukup maju serta dikelola secara profesional oleh pribadi-pribadi berdedikasi tinggi. Dengan usahanya itu, gerakan Arqam mampu berkembang ke beberapa negara.
Berapa banyak gerakan Islam yang gulung tikar ataupun susah berkembang karena kurang memperhatikan pengaturan sumber dana secara profesional, tidak menggarap sektor perekonomian sebagaimana menggarap bagian-bagian perjuangan lainnya, sedangkan ekonomi adalah kunci dari keberhasilan perjuangan secara menyeluruh. Kini, sudah saatnya lembaga-lembaga perjuangan Islam, bahkan merupakan tuntutan yang mesti dilakukan, untuk memiliki lembaga khusus yang bergerak dalam bidang ekonomi dalam rangka menunjang dana perjuangan dengan mengikuti kaidah-kaidah perekonomian modern yang sesuai dengan Islam.
Untuk membahas persoalan ini secara rinci diperlukan keterlibatan para pakar ekonomi dan bisnis serta manajemen yang komitmen terhadap perjuangan Islam dalam rangka menuju kejayaan Islam dan umatnya. Di antara seruan Allah SWT dalam memobilisasi kaum Muslimin untuk berjihad di jalan-Nya adalah dalam Surat At-Taubah ayat 41:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41)
Infaq di jalan Allah menjadi sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan dalam jihad fii sabilillah, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit. Dalam ayat tersebut secara gamblang disebutkan bahwa berjihadlah dengan harta dan jiwamu.
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum berlomba-lomba menginfaqkan harta mereka setiap kali seruan infaq datang kepada mereka. Abu Bakar menginfaqkan seluruh hartanya kepada Rasulullah, Umar menginfaqkan separuh hartanya kepada Rasulullah, Utsman bin Affan pernah menginfaqkan seribu ekor unta berikut isinya. Pantaslah para muassis dakwah pada zaman sekarang ini pun mengandalkan penggalangan dana dari infaq para pendukungnya dengan slogan shunduuqunaa juyuubuna. Tidak mengandalkan kepada uluran tangan dan belas kasihan orang lain. Asy-Syahid Hasan Al-Banna pernah menolak pemberian dari kerajaan Inggris untuk aktivitas dakwah beliau.
Mengapa kita diharuskan berjihad dengan harta kita? Hal itu disebabkan karena kebatilan pun untuk bisa eksis, didukung oleh para pendukung kebatilan (orang-orang kafir) yang berani mengeluarkan biaya besar. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan,” (QS. Al-Anfal: 36)
Oleh karena itu, pelalaian akan infaq di jalan Allah ini akan menyebabkan surutnya kembali cahaya Islam dan tertutupinya kebenaran Islam. Tertutup oleh kegelapan kebatilan dan kezhaliman yang mengobral harta mereka untuk melawan kebenaran.
Perhatikanlah dalam penggalan sejarah ketika para sahabat berkeinginan meminta dispensasi kepada Rasulullah untuk tidak lagi berinfaq dan meninggalkan dakwah yang telah maju di Madinah untuk sekadar memetik keuntungan duniawi. Permintaan dispensasi tersebut dijawab oleh Allah dengan sebuah penegasan untuk berinfaq di jalan Allah SWT.
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Semoga Allah SWT senantiasa melapangkan rezki kepada kita dan memberikan kekuatan kepada kita untuk berinfaq di jalan Allah SWT dalam menegakkan agama Allah di muka bumi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar