dakwatuna.com
– SUATU hari
Abdullah bin Abbas memakai pakaian paling indah dan mahal, berharga 10.000
dirham. Beliau bermaksud mengadakan dialog dengan kaum Khawarij yang
memberontak. Orang Khawarij adalah golongan yang kuat beribadah tetapi
meminggirkan ilmu dan tidak mau mempelajari al-Quran, fiqih dan hadits
Rasulullah SAW. Mereka terkenal sebagai kaum yang picik, fanatik, puritan dan
membenci siapa saja yang berseberangan paham dengan mereka.
Abdullah bin
Abbas mandi dan memakai parfum paling harum, menyikat rambutnya serta
mengenakan pakaian indah dan bersih. Beliau akan berhadapan dengan orang-orang
picik yang memakai baju tebal dan tambalan, muka yang berdebu serta kusut
masai.
Mereka berkata, “Kamu
adalah anak bapak saudara Rasulullah SAW. Mengapa kamu memakai pakaian seperti
ini? Abdullah bin Abbas menjawab, “Apakah kalian lebih tahu mengenai
Rasulullah SAW dibanding saya? Mereka berkata, “Tentulah kamu yang lebih
tahu.” Abdullah berkata lagi, “Demi Allah yang jiwaku dalam
genggaman-Nya, sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah SAW berpakaian dengan
mengenakan perhiasan berwarna merah dan itu adalah sebaik-baik perhiasan.”
Aisyah pada suatu
ketika melihat sekumpulan pemuda berjalan dalam keadaan lemah, pucat dan kelihatan
malas. Beliau bertanya, “Siapakah mereka itu?” Sahabat menjawab, “Mereka
itu adalah kumpulan ahli ibadat.” Kemudian Aisyah berkata, “Demi Allah,
yang tiada Tuhan selain-Nya. Sesungguhnya Umar bin al-Khattab adalah orang yang
lebih bertaqwa dan lebih takut kepada Allah dibanding mereka itu. Kalau
beliau berjalan, beliau berjalan dengan cepat dan tangkas. Apabila
bercakap, beliau dalam keadaan berwibawa, jelas kedengaran percakapannya dan
apabila beliau memukul, pukulannya terasa sakit.”
Pemahaman picik
kaum khawarij adalah akibat memahami Islam secara tidak kaaffah (menyeluruh),
memberatkan masalah ibadat yang sebenarnya mudah, sampai ke tahap
berlebih-lebihan dan menyusahkan diri.
Begitulah keadaan
sebahagian umat Islam yang lupa kepada wasiat Rasulullah SAW yang disampaikan
kepada sahabatnya, Muaz bin Jabal ketika beliau dikirim menjadi Duta dakwah ke
negeri Yaman. Kata Nabi saw: “Wahai Muaz, mudahkanlah setiap urusan, jangan
memberat-beratkannya.”
Apakah Islam
mengajarkan untuk membenci dunia? Kalau begitu, mengapa Abu Bakar al-Siddiq
berbangga dengan harta kekayaannya untuk membela agama Allah? Begitu juga
dengan Abdul Rahman bin Auf dan Utsman bin ‘Affan yang mengeluarkan hartanya
untuk membiayai jihad di jalan Allah dengan dana dari kantong mereka sendiri.
Adakah Rasulullah
SAW melarang mereka bekerja sungguh-sungguh untuk meraih keuntungan duniawi?
Bahkan di dalam
al-Quran, Allah menegaskan bahwa jihad dalam menegakkan agama Allah wajib
memiliki bekal persiapan. Firman-Nya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka dengan apa saja dari segala jenis kekuatan yang dapat kamu sediakan dari
pasukan berkuda yang lengkap untuk menggetarkan musuh Allah dan musuh-musuhmu.”
(Surah al-Anfal, ayat 60)
Bagaimanakah
Islam akan menang jika umatnya adalah mereka yang berada dalam skala Negara
Dunia Ketiga? Negara miskin dan terbelakang serta dikuasai oleh musuhnya.
Apabila mereka hendak membeli makanan, mereka terpaksa meminta belas kasih
orang lain.
Apakah zuhud itu
berarti membiarkan dunia dimiliki dan dikuasai oleh musuh Allah? Sedangkan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: “Apabila emas seberat gunung
diamanahkan kepadaku, aku tidak akan tidur selagi ia tidak habis dimanfaatkan
untuk umat Islam.”
Sebagai panduan
bersama, ingatlah pandangan Shaikhul Islam al-Imam Ibnu Taimiyah. Beliau
berkata: “Zuhud itu adalah kamu meninggalkan perbuatan yang tidak berfaedah
untuk akhiratmu.”
Harta yang halal
hendaklah dipastikan dikeluarkan juga pada tempat yang halal. Jangan mencari
pada sumber yang halal’ tetapi membelanjakannya pada jalan maksiat. Atau
kebalikannya, mengambil dari sarang penyamun dan membelanjakannya untuk ibadat.
Itu semua
bertentangan dengan perintah Allah. Orang beriman percaya harta adalah titipan
dan amanah Allah, pinjaman sementara dan apabila Allah menghendaki akan
lenyaplah harta itu dari tangan kita. Cukuplah harta itu ada dalam genggaman,
tetapi tidak menguasai hati kita.
Al-Imam Ahmad bin
Hanbal ketika ditanya mengenai seorang lelaki yang memiliki harta kekayaan
sebanyak 100.000 dinar uang emas. Dapatkah dia dikatakan sebagai seorang yang
zahid? Beliau menjawab: “Lelaki itu dikatakan zuhud apabila ada dua sifat:
Tidak terlalu bergembira ketika hartanya bertambah; Tidak terlalu berduka-cita
apabila hartanya berkurang.“
Nikmatilah dunia
dan segala kesenangannya tetapi pastikan harta yang dimiliki tidak menahan
langkah di akhirat kelak dan melambatkan perjalanan ke pintu surga. Karena
semakin banyak harta, maka dapat dipastikan semakin rumit pula hisab
perhitungan yang dilakukan, kecuali harta yang halal yang dibelanjakan untuk
keridhaan Allah.
Boleh jadi para
koruptor dapat menutupi hasil kejahatan dari pandangan manusia. Maka bagaimana
dengan pengadilan Allah di akhirat kelak? Dapatkah mereka menyembunyikan hasil
kejahatan mereka?
Islam menggalakkan
umatnya bekerja sungguh-sungguh untuk meraih keuntungan duniawi. Semua kekayaan
yang dianugerahkan Allah hendaklah dibelanjakan di jalan Allah. Rasulullah saw
berpesan agar umat Islam tidak memberatkan masalah ibadat yang sebenarnya mudah
dilakukan, sampai pada tahap berlebih-lebihan sehingga menyusahkan diri
sendiri. Islam menghendaki umatnya kaya dengan harta benda agar tidak ditindas
karena kemiskinan hanya membuat kita terus menjadi bangsa yang selalu mengemis
mencari bantuan asing.
Allah telah mewajibkan
jihad secara tegas kepada setiap Muslim. Tidak ada alasan bagi orang Islam
untuk meninggalkan kewajiban ini. Islam mendorong umatnya untuk berjihad dan
melipat gandakan pahala orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya apalagi
yang mati syahid.
Jihad pun dapat
dilakukan dengan harta benda (amwaal). Yaitu dengan zakat, infak,
shadaqah, mengorbankan harta untuk membangun sarana pendidikan, sarana ekonomi,
sarana kesehatan, dan lain-lain yang bertujuan untuk membangun kekuatan umat.
Hal ini ditegaskan pada dalam surat Al Anfal ayat 60:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan).”
Dalam ayat
tersebut Allah menegaskan agar kaum muslimin senantiasa melakukan berbagai
persiapan (baca: tidak asal-asalan) untuk menghadapi setiap upaya konspirasi
kebatilan yang dijalankan oleh musuh-musuh Allah. Persiapan-persiapan tersebut
hendaklah bersifat menyeluruh dengan mencakup semua lini kekuatan dan aspek
kehidupan umat.
Sudah saatnya
Islam melaksanakan jihad secara terencana dan terorganisasi, dan bukan
semata-mata mengandalkan emosi. Jihad yang terorganisasilah yang akan dapat
menggentarkan musuh-musuh Allah.
Kita semua paham
bahwa ada 5 (lima) kekuatan yang harus dimiliki kembali oleh umat Islam kalau
kita mau maju. Kekuatan tersebut adalah kekuatan iman, kekuatan ilmu, kekuatan
persaudaraan, kekuatan harta dan kekuatan angkatan perang. Seluruh kekuatan ini
ternyata memang ada dalam masyarakat Rasulullah. Kita akan membahas satu
kekuatan yang dapat kita jadikan pelajaran dalam pembinaan umat ini, yaitu
kekuatan harta (Quwwatul Maal).
A. Harta itu milik Allah (Al Maalu Lillah) المال للّه
dakwatuna.com
– Allah SWT adalah
Dzat yang memberikan jaminan rezki kepada kita, ini menunjukkan bahwasanya
Allah pun berhak mengatur peruntukan rezki yang ada pada kita. Manusia yang
tidak menyadari akan hal ini menganggap bahwasanya rezki itu adalah hasil kerja
kerasnya sendiri tanpa ada campur tangan Allah SWT. Perilaku ini digambarkan
oleh Allah SWT ketika menceritakan tentang kepicikan Karun. Allah berfirman:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
Karun
berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada
padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak
mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa
itu, tentang dosa-dosa mereka.” (QS. Al-Qashash: 78)
Tuntutan yang
dikehendaki Allah terkait dengan harta kita adalah dalam bentuk Infaq di jalan
Allah SWT untuk menegakkan agama-Nya di muka bumi ini.
Dari
Abu Hurairah ra. katanya, Rasulullah saw bersabda: ”Kelak bumi akan memuntahkan
jantung hatinya berupa tiang-tiang emas dan perak. Maka datanglah seorang
pembunuh seraya berkata: ”Karena inilah aku jadi pembunuh. Kemudian datang pula
si perompak, lalu berkata: ”Karena inilah aku putuskan hubungan silaturrahim.
Kemudian datang pula si pencuri seraya berkata: ”Karena inilah tanganku
dipotong” Sesudah itu mereka tinggalkan saja harta kekayaan itu, tiada mereka
mengambilnya sedikitpun.”
(Muslim)
Pada dasarnya
semua manusia menyenangi kekayaan dan harta benda. Kadangkala karena mengejar
harta, didominasi hawa nafsu dan bisikan syaitan malah ada manusia yang sampai
rela berbunuh-bunuhan, merampok, korupsi bahkan memutuskan silaturrahim. Dunia
dicipta sebagai ujian buat manusia, siapakah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya
harta dunia tidak akan membawa arti apa-apa jika tidak dimanfaatkan ke jalan
yang diridhai Allah.
Hakikat harta
diterangkan Rasulullah saw seperti sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah:
“Seorang
hamba (manusia) berkata, ‘Hartaku, hartaku!’ Padahal hartanya itu sesungguhnya
ada 3 jenis: (1) Apa yang dimakannya lalu habis. (2) Apa yang dipakainya lalu
lusuh. (3) Apa yang disedekahnya lalu tersimpan untuk akhirat. Selain yang 3
itu, semuanya akan lenyap atau ditinggalkan kepada orang lain”. (Muslim)
Harta pada
dasarnya bersifat netral. Ia tidak mulia atau hina, baik atau buruk. Ia lebih
sebagai ujian bagi sifat dasar manusia terhadap Allah SWT. Dengan harta itu,
mampukah ia menjadi hamba yang lebih dekat kepada−Nya, atau justru menjadi
budak harta yang terlena dan terpedaya olehnya. Pendek kata, ia merupakan
cobaan bagi keimanan dan ketaatan hamba kepada Sang Pencipta. Firman Allah SWT:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
”Sesungguhnya
hartamu dan anak−anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang
besar.” (QS.
At−Taghabun: 15).
Ayat di atas tidak
hanya memastikan bahwa harta adalah ujian, namun juga menunjukkan sesungguhnya
harta juga jenis kenikmatan duniawi lainnya seberapa pun besarnya, tidak
memiliki nilai sama sekali di hadapan Allah. Sebanyak apa pun harta yang
dimiliki seseorang, ia tetap kecil di hadapan Allah dan tidak kekal. Tapi, yang
bernilai adalah ketika harta itu bisa difungsikan dengan tepat, sesuai dengan
yang Allah amanahkan. Jika demikian, maka pahala di sisi Allahlah yang menjadi
balasannya.
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Katakanlah:
Kesenangan di dunia ini hanya sebentar (sementara). Dan, akhirat itu lebih baik
untuk orang−orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (QS. An−Nisaa’: 77).
Rasmul Bayan
"Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)"
Begitulah Allah
SWT menjelaskan hakikat harta dan segala kenikmatan dunia lainnya. Sebagai
ujian, ia ditimpakan kepada siapa saja, lintas strata, dan tanpa pandang bulu:
orang kaya, orang miskin, cendekiawan, pejabat, dan bahkan agamawan.
Masing−masing diuji dengan harta yang ada pada mereka.
Kesadaran
memahami kehidupan dunia sebagai ujian semacam ini perlu dibangun agar harta
tidak membutakan mata hati dan memalingkan manusia dari Allah SWT.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
”Hai
orang−orang yang beriman, jangan sampai harta-hartamu dan anak-anakmu
melalaikanmu dari Allah. Siapa yang terlalaikan oleh harta dan anak, maka
mereka itulah orang−orang yang rugi.” (QS. Al−Munafiqun: 9).
Karena itu, sikap
terbaik dalam menjalani hidup adalah berperilaku zuhud. Zuhud adalah sikap di
mana kita tidak merasa bangga, buta hati, dan terpedaya dengan harta dan segala
kenikmatan dunia. Sebaliknya, kita juga tidak merasa kehilangan dan berduka
ketika segala kenikmatan tersebut dicabut dari kita. Allah berfirman:
لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
”Supaya
kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan−Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 23).
Orang yang
bersikap zuhud niscaya akan selalu tenang menjalani hidup dan selalu merasa
cukup dan puas dengan apa yang ada pada dirinya. Ia tidak sombong dan terlena
dengan harta karena menyadari betul ia hanyalah amanah dari Allah untuk dipergunakan
dengan tepat.
Seorang sufi
menyatakan, ”Kekayaan itu adalah kepuasan.” Yakni, puas dengan apa yang ada
pada kita. Suburnya korupsi di negeri ini, antara lain, karena banyak dari kita
yang rakus, tidak amanah, dan telah diperbudak oleh harta. Orang yang demikian
tidak akan ada puasnya. Sebab, ia sudah dikendalikan oleh harta dan bukan dia
yang mengendalikan harta.
B. Kebutuhan Jihad akan Harta (Ihtiyajatul Jihad)
إحتياجات الجهاد
Jihad yang
sempurna dilakukan dengan jiwa, harta dan lisan. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW, “Berjihadlah kalian menghadapi kaum musyrikin (kafirin) dengan harta,
jiwa dan lisan kalian.” (HR. Abu Daud dan lainnya)
Itulah jihad yang
sempurna dan totalitas. Namun demikian, dalam keadaan tertentu bisa saja ada
sesuatu yang menghalangi orang untuk dapat berjihad secara langsung. Dalam
keadaan demikian tidak berarti ia tidak mengambil bagian dalam jihad sama
sekali. Ibnul Qayyim Al-Jauzi berpendapat dalam Zaadul Ma’ad bahwa apabila
seseorang tidak berangkat ke medan jihad (tidak berjihad dengan jiwa)maka ia
tetap wajib berjihad dengan harta.
Di antara
keutamaan berjihad dengan harta adalah dicatat sebagai orang yang ikut berjihad
dan merupakan shadaqah yang paling utama. Rasulullah SAW bersabda, “Barang
siapa menyiapkan kendaraan perang di jalan Allah berarti ia telah ikut
berperang, dan barang siapa meninggalkan perang tetapi menggantinya dengan
kebaikan berarti ia pun telah ikut berperang.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud
dan Tirmidzi).
Bahkan dalam
hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mengkarantina kuda
perang untuk berjihad di jalan Allah, maka kenyang dan kotorannya (maksudnya
segala upaya untuk mengenyangkannya dan tenaga untuk membersihkan kotorannya)
akan ditimbang oleh Allah pada hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Rasmul Bayan
"Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)"
Hudzaifah Ibnul
Yaman, yang biasa dikenal sebagai shohibussirri (intel) Rasulullah SAW,
senantiasa mencemaskan hal-hal yang akan membawa kepada fitnah dan kerusakan.
Dalam kaitan amar ma’ruf nahi munkar, beliau mengingatkan bahwa orang-orang
yang menentang kemunkaran dengan hati, lisan dan perbuatannya adalah bentuk
keimanan yang sempurna. Barang siapa menghadapi dengan hati dan lisannya tetapi
tidak dengan perbuatannya maka ia telah terjatuh satu kakinya. Barang siapa
menghadapi kemunkaran dengan hati dan tidak dengan lisan dan perbuatan maka
sudah terjatuh kedua kakinya. Dan barang siapa menghadapi kemunkaran tidak
dengan hatinya, lisannya dan perbuatannya maka ia telah menjadi mayat.
Hudzaifah
menganggap orang-orang yang tidak memiliki kepedulian dalam melawan kemunkaran
dan tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam penentangan terhadap kezhaliman
sama dengan orang mati. Sebuah perumpamaan yang sangat tepat mengingat
keberadaannya sudah tidak lagi diperhitungkan dalam barisan kaum Muslimin, wujuduhu
ka adamihi (eksistensinya tidak diakui), ia telah mati sebelum ajalnya
tiba. Orang-orang seperti itu kelak pada gilirannya akan digantikan oleh Allah
dengan generasi yang lebih baik, sebagaimana firman-Nya:
هَاأَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ
“Ingatlah,
kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah.
Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia
hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allahlah yang Maha Kaya sedangkan
kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia
akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu
(ini).” ( Qs. Muhammad:
38)
Seorang mukmin
sejati, pantang untuk digantikan dan pantang untuk mundur dari gelanggang
dakwah dan jihad fii sabilillah. Karena dengan demikian dia akan hancur
dipermainkan oleh musuh-musuh Allah dalam keadaan terhina. Sebaliknya ia akan
senantiasa memompa semangatnya untuk berjihad di jalan Allah dan menegakkan
dakwah baik dengan hati, lisan dan perbuatannya. Laa izzataillaa bijihaadin (tidak
ada kemuliaan kecuali dengan jihad).
لَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِينَ
“Orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu
untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui
orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. At-Taubah: 44)
Seorang dai
seyogianya menjadi titik sentral dari orang-orang yang mengikutinya. Dalam hal
mobilisasi infak untuk aktivitas dakwah banyak potensi yang masih terbuka lebar
tanpa harus berebut lahan. Bagaimana tidak, menurut perhitungan para ahli jika
benar-benar umat ini memobilisasi dana zakat akan didapatkan dana segar sebesar
7 trilyun untuk membangun umat. Dan jika ditambah dengan infak tidak kurang
dana yang terkumpul sekitar 35 trilyun rupiah. Sebuah angka yang menjadi modal
bagi kebangkitan umat di masa mendatang.
Semoga Allah
senantiasa memberikan keistiqamahan kepada kita dalam meniti jalan dakwah ini
betapa pun beratnya ujian yang harus dihadapi. Dan semoga Allah memberikan quwwatut
ta’tsir pada diri kita, sehingga lebih banyak lagi orang yang tertarik
kepada kita dan menyerahkan hartanya untuk penegakan dakwah dan jihad fii
sabilillaah.
C. Jihad Harta Upaya Perimbangan Dalam Menghadapi Musuh Dakwah
التوازن في مواجهة الاعداء
Sebagaimana telah
diterangkan terdahulu, jihad dengan harta merupakan jihad yang melengkapi
bentuk jihad lainnya. Dengan demikian, segala bentuk jihad Islam pasti
memerlukan jihad harta ini. Di sinilah peranannya yang sangat vital untuk
mensukseskan misi-misi jihad lainnya. Tanpa ditunjang harta, jihad lainnya akan
terhambat ataupun tidak mustahil menemui kegagalan.
Dr. Said Hawwa
dalam bukunya Jundullah menulis tentang jihad harta ini,
“Sebenarnya jihad
dengan harta (jihad bil-mal) ini merupakan bagian vital dari jihad-jihad
yang lain. Risalah dakwah tidak akan berjalan dengan sempurna tanpa adanya
bantuan logistik dan dana yang kuat, lebih-lebih ketika sedang mempersiapkan
kekuatan dalam rangka menghadang kekuatan musuh. Setiap gerak dakwah tidak bisa
terlepas dari masalah dana, sebab dalam pelaksanaannya, dakwah memerlukan
sarana dan prasarana, apalagi untuk berdakwah di zaman sekarang ini.
Jihad lisan
memerlukan banyak dana guna mencetak buku, surat kabar, pamflet, majalah, dan
sebagainya, sedangkan jihad pendidikan memerlukan banyak dana untuk membiayai
pembentukan lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran representatif yang
ditunjang peralatan secara memadai serta tenaga-tenaga pendidik yang
profesional.
Jihad fisik
dengan berbagai macamnya memerlukan banyak dana untuk pengadaan senjata,
peralatan tempur yang canggih, logistik, dan biaya tunjangan untuk para
syuhada. Jadi jelaslah, jihad yang tidak didukung oleh kekuatan dana yang
memadai akan mengalami berbagai kegagalan. Oleh karena itu, dalam berbagai ayat
Al-Qur’an, Allah SWT mengaitkan jihad dengan harta dalam suatu rangkaian kalimat”
Untuk
melaksanakan jihad dengan harta ini, seorang muslim yang telah memenuhi syarat
untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah, harus mengeluarkannya sebagaimana
yang telah diperintahkan Islam, baik di medan dakwah, pendidikan, politik,
sosial, peperangan, dan medan jihad lainnya. Berikut ini akan dinukilkan
beberapa pendapat ulama tentang masalah ini, terutama yang sering
dilupakan/dilalaikan kaum muslimin.
Di sini tidak
dibahas bentuk-bentuk pembelanjaan, seperti membangun masjid, madrasah, menyantuni
fakir miskin, membiayai peperangan, dan hal-hal yang sudah umum diketahui
masyarakat, namun beberapa hal yang kurang disentuh, bahkan sering
ditelantarkan karena salah pengertian.
Dr. Yusuf
al-Qaradhawi dalam Fiqhuz-Zakah menulis tentang beberapa bentuk jihad masa kini
yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut
- Mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam yang representatif di negara Islam, sebagai pusat ta’lim dan tarbiyah bagi generasi muda Islam, menyampaikan/mengajarkan ajaran Islam secara sharih ‘jelas’ dan benar, membentengi aqidah dari bahaya kemusyrikan dan kekufuran, memelihara kemurnian pola pikir islami agar tidak tergelincir, serta mempersiapkan diri untuk membela Islam dan menghalau musuh-musuhnya.
- Mendirikan pusat kegiatan bagi kepentingan penyiaran dakwah Islam ke luar (non muslim) di semua benua, terutama yang sedang berkecamuk dalam berbagai macam pergolakan pemikiran dan ideologi.
- Mendirikan unit usaha di bidang percetakan, baik berupa surat kabar, majalah tabloid, maupun brosur-brosur, untuk menangkis berita-berita dari luar yang merusak dan memutarbalikkan fakta kebenaran Islam, membuka tabir kebohongan musuh-musuh Islam, serta menjelaskan Islam yang sebenarnya.
- Termasuk di dalamnya adalah penyebaran buku-buku Islam dari penulis-penulis Islam yang bersih, yang mampu menyebarkan ide/pikiran Islam dan membangkitkan semangat umat Islam, yang mampu mengungkap mutiara-mutiara Islam yang selama ini tertutupi oleh derasnya buku-buku Islam karya para orientalis, islamolog-islamolog Barat dan Timur yang kafir. Untuk semua itu, diperlukan tenaga-tenaga tangguh, berdedikasi, jujur, amanah, beridealisme dan bercita-cita tinggi, ber-iltizam pada manhaj Islam, bekerja penuh perhitungan, dan ikhlas karena Allah semata.
Dr. Said Hawwa
menulis dalam bukunya Kai lam Namdhi Baidan an Ihtiyajat al-Ashr,
“Sebagai konklusi dari banyak ukuran syariat, saya berpendapat bahwa sekarang ini dibenarkan memberikan zakat kepada lima kelompok dengan tetap menjaga pelaksanaan-pelaksanaan zakat yang lain, fatwa, dan takwa. Mereka itu adalah sebagai berikut Gerakan-gerakan jihad Islam. Gerakan-gerakan dakwah dan para dai yang menyuruh kepada Allah; Pendidikan yang melahirkan tokoh-tokoh agama.; Pendidikan yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan spesialis dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan kaum muslimin; Jamaah-jamaah Islam Internasional.
“Sebagai konklusi dari banyak ukuran syariat, saya berpendapat bahwa sekarang ini dibenarkan memberikan zakat kepada lima kelompok dengan tetap menjaga pelaksanaan-pelaksanaan zakat yang lain, fatwa, dan takwa. Mereka itu adalah sebagai berikut Gerakan-gerakan jihad Islam. Gerakan-gerakan dakwah dan para dai yang menyuruh kepada Allah; Pendidikan yang melahirkan tokoh-tokoh agama.; Pendidikan yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan spesialis dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan kaum muslimin; Jamaah-jamaah Islam Internasional.
Jika masyarakat
Islam memiliki universitas yang mengelola masalah-masalah ini dan memang
memenuhi syarat karena di situ terdapat banyak tenaga ahli yang dapat dipercaya,
di samping universitas ini melaksanakan putusan fatwa yang berwawasan luas yang
mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, maka membantu lembaga ini
merupakan langkah yang paling mendekati orang yang mendekat kepada Allah menuju
jalan yang hendak ditempuh.”
Syekh Muhammad
Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menulis, “Wajib dipelihara dalam aturan
lembaga infak dan zakat bahwa sabilillah tetap mempunyai hak atasnya karena
mereka memiliki suatu sasaran, yaitu berbuat untuk mengembalikan hukum Islam.
Tindakan ini lebih baik (lebih penting) daripada perang karena mereka
memelihara hukum Islam dari serangan orang-orang kafir. Cara lain dalam
berdakwah serta membela hukum Islam apabila sulit untuk mempertahankannya
dengan pedang, kekuatan, dan perang, adalah dengan lisan dan tulisan.”
Selanjutnya,
beliau menulis, “Yang benar, sabilillah adalah kepentingan-kepentingan umum
kaum muslimin yang menegakkan kepentingan agama dan negara, bukan
pribadi-pribadi. Adapun proses perjalanan haji individu-individu (masyarakat)
tidak termasuk dalam kategori ini karena haji hanya diwajibkan kepada
orang-orang yang mampu saja; di samping itu, haji merupakan fardhu ain seperti
halnya shalat dan puasa, bukan termasuk kepentingan-kepentingan
dunia-kenegaraan.
Akan tetapi,
syiar haji dan pelaksanaan umat termasuk kategori ini sehingga bisa dibiayai
dari jatah sabilillah ini guna mengamankan jalur-jalur transportasi yang akan
dilalui dalam perjalanan haji, menyediakan air, makanan, dan sasaran-sasaran
mudik untuk para jamaah haji kalau memang tidak ada dana lain.”
Selanjutnya dia
menulis, “Orang-orang yang berjuang fi sabilillah mencakup
kepentingan-kepentingan syariat secara umum yang merupakan inti persoalan agama
dan negara yang terpenting, yaitu mendahulukan persiapan perang dengan membeli
senjata dan logistik untuk para pasukan, sarana-sarana angkutan, mempersiapkan
para pejuang, dan sebagainya. Di antara langkah sabilillah yang terpenting di
zaman ini adalah mempersiapkan dai dan mengirimkan mereka ke negara-negara
kafir dengan dikelola oleh organisasi-organisasi yang manajemennya teratur
rapi, yang memberikan dana yang cukup kepada mereka.”
Asy-Syahid Sayyid
Quthb dalam Fi Zhilaalil-Qur’an menulis, “Sabilillah adalah pintu lebar yang
mencakup semua kepentingan masyarakat yang ingin merealisasikan kalimat Allah.
Yang paling penting di antaranya adalah mempersiapkan jihad, mempersiapkan dan
melatih para sukarelawan, mengutus dai Islam, menjelaskan hukum-hukum dan
syariat-syariat Islam kepada segenap manusia, mendirikan sekolah-sekolah dan
universitas-universitas yang mendidik putra-putri Islam secara islami dan
benar, sehingga kita tidak perlu menitipkan mereka di sekolah-sekolah
pemerintah yang mengajarkan segala ilmu pengetahuan kecuali Islam, maupun
sekolah-sekolah yang dikelola oleh para misionaris yang mengikis keimanan
mereka sejak anak-anak padahal mereka tidak punya daya penangkal untuk
menghadapi pendangkalan iman itu.”
Demikianlah
beberapa medan jihad yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin saat ini dalam
membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sangat perlu kita bahas, di antara yang
disebutkan itu, manakah yang lebih utama (afdhal), karena Islam memerintahkan
kepada pengikutnya agar mencari yang lebih utama dalam membelanjakan harta ini.
Said Hawwa dalam Kai Lam Namdhi menulis. Firman Allah SWT,
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
“Allah
menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan
As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, barangsiapa yang dianugerahi
al-hikmah itu, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak….,’ (Qs. Al-Baqarah: 269)
Ayat di atas
diturunkan dalam konteks ayat-ayat yang memerintahkan agar berinfak yang
disebut dalam surah al-Baqarah, sebab ayat ini mendahului firmanNya,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
‘Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik….’
(Qs. Al-Baqarah: 267)
Di antara hikmah
yang paling menonjol dari konteks ayat-ayat tersebut adalah meletakkan
infak-infak sesuai dengan tempatnya. Itulah fenomena hikmah yang paling tinggi
karena memang akan melahirkan banyak kemaslahatan dan jasa.”
Pada
kenyataannya, masih banyak hartawan muslim yang kurang jeli dalam membelanjakan
hartanya di jalan Allah. Sebagai contoh, banyak hartawan Timur Tengah yang jika
menginfakkan hartanya kepada negara-negara miskin, hanya mau memberikannya
kepada masjid ataupun madrasah dalam pembangunan fisiknya. Walaupun sudah
banyak masjid dibangun bahkan dengan megahnya, namun sedikit sekali
dimanfaatkan jamaah, baik untuk shalat berjamaah maupun aktivitas-aktivitas
keislaman lainnya.
Semua ini tentu
akibat dari ketidakmengertian, kebodohan, dan kemalasan mereka. Apalah artinya
masjid megah dengan segala kelengkapannya jika tidak bermanfaat membimbing
manusia menuju hidayah Islam. Apakah yang terpenting, bangunan megah sebuah
masjid ataukah mendidik manusia-manusia yang akan memanfaatkannya? Membangun
gedung megah itukah yang lebih afdhal ataukah membiayai pendidikan ulama dan
dai yang akan mengarahkan mereka? Di sinilah hartawan muslim dituntut
kejeliannya.
Mengenai masalah
ini, Said Hawwa menulis dalam Kai Lam Namdhi, “Akan kami buatkan tiga
ilustrasi:
- potret orang yang membantu orang yang tunawicara, tunarungu, dan tunanetra;
- potret orang yang membela seorang pekerja yang tidak mempunyai bahan makanan;
- potret orang yang menyisihkan zakatnya untuk melahirkan seorang alim yang mengajak kepada Allah.
Tak pelak lagi,
barangsiapa yang membantu yang mana pun juga dari tiga ilustrasi tersebut, dia
adalah orang yang bijak dan berjasa. Akan tetapi, dari ketiga ilustrasi itu,
manakah yang paling banyak hikmah dan pahalanya?
Orang yang
menyeru kepada Allah dengan berbekal ilmu dan pengalaman, yang menyebabkan
Allah membuka sekian banyak kalbu, akal, dan kantong manusia, akan melahirkan
banyak limpahan rahmat yang hanya Allah yang mengetahuinya, kemudian menghidupi
banyak keluarga, bahkan bangsa. Berkat nasihat-nasihat yang disampaikannya,
banyak orang yang terdorong membayar zakat dan menerima agama Allah. Dari aspek
ini dan aspek-aspek lain, jelaslah bahwa potret yang ketigalah yang paling
banyak manfaat dan pahalanya.
Andaikata
seseorang mengeluarkan zakatnya untuk membiayai seorang dai yang mengajak kepada
Allah di suatu wilayah yang didominasi oleh kebodohan, kefasikan, kemaksiatan,
dan kemurtadan, lalu si dai berhasil mengajak orang-orang tersebut dan
generasi-generasinya kembali ke dalam pangkuan Islam, bukankah Anda sependapat
bahwa orang-orang tersebut dan generasi-generasinya berada dalam barisan orang
yang bersedekah itu? Bukankah pahala orang ini dan hikmahnya lebih besar
dibandingkan saudara kita yang ada dalam potret terdahulu padahal masing-masing
dari kedua orang ini telah memperbaiki usahanya?”
Selanjutnya,
beliau menulis, “Ada banyak kondisi di mana kita dianjurkan untuk bersedekah
dalam membangun masjid-masjid. Ada banyak kondisi yang memperbolehkan kita
memberikan fatwa agar kita menyerahkan zakat/infak untuk membantu kondisi itu.
Barangsiapa menyerahkan zakat kepada salah satu dari dua kondisi itu, berarti
ia mendapat yang baik.
Akan tetapi, ada
ukuran-ukuran syariat yang harus kita tempatkan dalam perhitungan ini, misalnya
keluarga, tetangga, dan penduduk setempat didahulukan atas pihak-pihak lain;
orang yang lebih rajin menjalankan kewajiban didahulukan atas yang lain;
kewajiban-kewajiban yang terbengkalai harus mendapat perhatian lebih khusus;
menghidupkan kewajiban-kewajiban yang ditinggalkan orang didahulukan atas
kepentingan-kepentingan lainnya; menegakkan kewajiban-kewajiban fardhu ‘ain dan
fardhu kifayah harus mendapat perhatian khusus, dan sebagian fardhu kifayah
harus didahulukan bergantung pada waktu dan tempat.
Semua itu harus
dicamkan betul oleh seorang pembayar zakat ketika hendak menyerahkan zakatnya.
Ketepatan menjatuhkan pilihan kepada siapa zakat dan sedekah itu akan
diserahkan, merupakan salah satu fenomena kebajikan dirinya. Kalau ia tepat
menyerahkannya kepada bidang yang paling bermanfaat, berarti ia berhak mendapat
pahala yang paling banyak. Dalam keadaan bagaimanapun juga, ia akan mendapat
pahala asalkan niatnya benar.”
Demikianlah
beberapa kaidah yang perlu diperhatikan oleh para hartawan muslim dalam
membelanjakan hartanya di jalan Allah agar apa yang dilakukannya mendapat
balasan di sisi Allah. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk menginfakkan harta
di jalan Allah harus benar-benar jeli dalam memperhitungkannya. Setiap tempat
dan kondisi tertentu berbeda pelaksanaannya dengan tempat dan kondisi lainnya,
sebagaimana dikemukakan Said Hawwa.
Sebagai
ilustrasi, dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim terdapat
banyak ulama dan sarana pendidikan Islam, namun tidak dapat berbuat banyak
karena dikuasai pemerintah kuffar yang dilengkapi dengan fasilitas militer.
Dalam kondisi seperti ini, membebaskan negara tersebut dari pemerintah kuffar
harus diutamakan. Semua pembelanjaan harus dikerahkan ke sana, seperti melatih
pasukan/tentara Islam, mempersenjatai mereka dengan segala kelengkapannya,
mendidik ulama dan dai yang mengarahkan umat agar berjihad, dan memperlengkapi
sarana menuju ke sana adalah lebih utama dari pekerjaan lainnya.
Apalah artinya
membangun masjid besar, sarana pendidikan lengkap jika akan dipergunakan
memperkuat kekuasaan pemerintah kuffar tersebut ataupun tidak dapat difungsikan
sebagaimana dikehendaki Islam.
Dalam kondisi
seperti ini, membelanjakan harta untuk pembebasan ini adalah lebih utama
daripada yang lainnya karena pembebasan negara dari cengkeraman pemerintah
kuffar adalah pintu menuju pelaksanaan ajaran Islam secara sempurna dan murni.
Karenanya, membantu gerakan-gerakan Islam yang akan membebaskan bumi ini dari
cengkeraman pemerintah-pemerintah kuffar dan kaki tangannya adalah pekerjaan
yang sangat besar dan mulia, memiliki hikmah tertinggi di hadapan Allah. Semua
usaha menuju ke arah sana harus dibantu sepenuhnya oleh hartawan muslim yang
menghendaki hikmah.
Demikian pula
halnya ketika umat Islam tidak memiliki ahli dalam bidang-bidang tertentu yang
akan memperkuat kejayaan Islam, membelanjakan harta untuk melahirkan ahli
spesialis tersebut adalah utama. Apalah artinya kelengkapan fasilitas yang
dimiliki umat Islam jika tidak ada yang mengelolanya secara maksimal.
D.
Distribusi Infaq Fii Sabilillah (Pengaturan Sumber Dana)
dakwatuna.com
– Kebanyakan kaum
muslimin ataupun gerakan-gerakan Islam dewasa ini kurang memperhatikan
pengaturan dana yang kontinyu dalam menjalankan aktivitas perjuangannya. Jika
ada, itu pun hanya kerja sambilan yang kurang diperhatikan. Mereka hanya
mengharapkan sumbangan dari donaturnya, baik sebagai anggota maupun simpatisan.
Mereka kurang mengembangkan potensi perekonomian Islam dan kaum muslimin untuk
melancarkan sumber dana, yang mana ini pun merupakan salah bentuk jihad yang
harus dilaksanakan.
Pada saat kaum
muslimin belum memiliki negara yang dapat menjamin dana perjuangan dan
langkanya para hartawan muslim yang seharusnya menjadi donatur bagi perjuangan
Islam, mereka yang kaya telah terjangkiti penyakit kikir sehingga tidak mau
mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Di samping itu, ada pula hartawan muslim
yang berkeinginan mengeluarkan hartanya membantu perjuangan Islam, namun
dihantui ketakutan penangkapan dan penyiksaan dari penguasa-penguasa zhalim
vang anti-Islam. Masih banyak lagi faktor yang menahan hartawan muslim
mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Hal ini jelas akan menyusahkan perjuangan
Islam karena kekurangan dana. Banyak program pokok dalam perjuangan
terbengkalai akibat ketiadaan dana. Bagaimanapun, dana sangat penting bagi keberhasilan
misi perjuangan.
Sementara itu,
musuh-musuh Islam, pasukan-pasukan thagut, terus melancarkan operasi
penghancuran dan penghapusan Islam dengan berbagai fasilitas dan tunjangan dana
besar dari para donaturnya yang memiliki jaringan internasional. Apakah karena
ketiadaan dana ini menyebabkan pejuang-pejuang fi sabilillah mundur dari
perjuangannya dan membiarkan pengikut-pengikut iblis yang dilaknat Allah itu
menyesatkan manusia. Apakah ketiadaan dana ini mendorong mereka mengemis pada
musuh-musuh Islam untuk memberikan dana bagi perjuangannya dengan syarat mereka
harus melacurkan aqidahnya, atau hanya pasrah saja menunggu dana dari donatur;
jika dana sudah tersedia, baru menjalankan aktivitas perjuangan.
Semua ini adalah
pekerjaan orang-orang frustasi, orang-orang yang kalah mentalnya dalam
berinteraksi dengan kejahiliyahan. Inilah sifat tercela yang harus dijauhi
pejuang-pejuang fi sabilillah. Kita yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah
Yang Maha Kaya dan Maha Kuasa pasti akan mendatangkan bantuan-Nya, namun apakah
bantuan itu akan datang dengan sendirinya tanpa ikhtiar sungguh-sungguh dari
pejuang-pejuang suci ini. Bukankah Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya
untuk berusaha semaksimal kemampuannya untuk menegakkan din-Nya, kemudian
dengan usaha sungguh-sungguh itulah Allah mendatangkan bantuannya, sebagaimana
disebutkan Al-Qur’an,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Dengan demikian,
Allah hanya akan menolong hamba-hamba-Nya yang sudah berikhtiar dengan seluruh
kemampuannya, bukan orang-orang yang patah semangat kemudian tidak berbuat.
Untuk menanggulangi
kekurangan dana dalam perjuangan, saat ini diperlukan usaha-usaha perekonomian
yang dapat menghasilkan dana, baik dalam usaha perdagangan, pabrik, jasa,
maupun usaha-usaha halal lainnya. Tentu, usaha ini dikelola sesuai dengan
perkembangan sistem perekonomian modern yang sesuai dengan Islam, dilaksanakan
oleh orang-orang yang amanah dan bertanggung jawab, memiliki komitmen yang kuat
terhadap perjuangan Islam dan profesional di bidangnya, di bawah kontrol
lembaga perjuangan Islam, baik secara langsung jika hal ini memungkinkan maupun
tersembunyi.
Sangat bijak jika
pergerakan Islam melaksanakan usahanya secara sembunyi (rahasia), terutama di
negara-negara yang penguasanya anti-Islam, tidak terang-terangan secara
langsung mengatasnamakan lembaga perjuangannya dalam aktivitas perekonomian,
misalnya atas nama pribadi yang dibiayai dan dikontrol lembaga. Cara semacam
ini menjaga kemungkinan musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkan perjuangan
dari sumber kekuatan ekonomi karena mereka senantiasa berusaha untuk itu dengan
menghalalkan segala cara.
Usaha-usaha
perekonomian itu harus dilakukan dengan menjalankan sistem perekonomian Islam.
Baik berupa syirkah, mudharabah, murabahah, qiradh, dan sejenisnya yang
tidak terkontaminasi sistem ekonomi non-Islam. Misalnya, beberapa anggota
pergerakan yang memiliki kelebihan harta mengumpulkan modal untuk dijalankan.
Kemudian dari keuntungan usaha tersebut disisihkan bagian untuk dana
perjuangan. Atau seseorang/beberapa orang yang memiliki modal dan yang lainnya
mendirikan usaha. Keuntungan dari usaha itu dibagi antara pemberi modal dan
yang menjalankannya kemudian disisihkan bagian untuk perjuangan Islam.
Atau sebuah
pergerakan Islam yang memiliki dana cukup, kemudian membuka usaha sebagai
bagian dari aktivitasnya sebagai sumber dana perjuangan; dan lain-lain bentuk
perekonomian yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan dijalankan dengan
manajemen modern dan profesional.
Dengan
usaha-usaha pengaturan dana melalui perekonomian ini, para pejuang fi
sabilillah tidak perlu bersusah payah mengemis pada orang-orang kikir ataupun
musuh-musuhnya dan tidak perlu terlalu mengharapkan bantuan yang belum pasti
datangnya. Dengan usaha yang bersungguh-sungguh dan mengikuti petunjuk Allah
dan Rasul-Nya, rahmat dan pertolongan Allah akan senantiasa datang kepada
pejuang di jalan Allah. Selain itu, dapat dilihat keberhasilan yang telah
diperoleh pejuang-pejuang di jalan Allah yang menaruh perhatian besar terhadap
pengaturan sumber dana ini, bahkan menjadikannya sebagai bagian dari perjuangan
yang mesti digarap, tidak kalah pentingnya dengan jihad lainnya.
Rasmul Bayan
"Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)"
Sebagai contoh,
Imam Syahid Hasan al-Banna sangat menaruh perhatian pada aspek perekonomian
ini. Gerakannya mampu mengorganisasi usaha-usaha perekonomian, bahkan
pabrik-pabrik besar, sebagai sumber dana perjuangannya. Usahanya itu dikelola
oleh jamaah secara profesional. Demikian pula halnya dengan gerakan ekonomi
yang dikelola gerakan al-Arqam, yang berpusat di Malaysia, dengan pabrik-pabrik
dan usaha perdagangan yang cukup maju serta dikelola secara profesional oleh
pribadi-pribadi berdedikasi tinggi. Dengan usahanya itu, gerakan Arqam mampu
berkembang ke beberapa negara.
Berapa banyak
gerakan Islam yang gulung tikar ataupun susah berkembang karena kurang
memperhatikan pengaturan sumber dana secara profesional, tidak menggarap sektor
perekonomian sebagaimana menggarap bagian-bagian perjuangan lainnya, sedangkan
ekonomi adalah kunci dari keberhasilan perjuangan secara menyeluruh. Kini,
sudah saatnya lembaga-lembaga perjuangan Islam, bahkan merupakan tuntutan yang
mesti dilakukan, untuk memiliki lembaga khusus yang bergerak dalam bidang
ekonomi dalam rangka menunjang dana perjuangan dengan mengikuti kaidah-kaidah
perekonomian modern yang sesuai dengan Islam.
Untuk membahas
persoalan ini secara rinci diperlukan keterlibatan para pakar ekonomi dan
bisnis serta manajemen yang komitmen terhadap perjuangan Islam dalam rangka
menuju kejayaan Islam dan umatnya. Di antara seruan Allah SWT dalam memobilisasi
kaum Muslimin untuk berjihad di jalan-Nya adalah dalam Surat At-Taubah ayat 41:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Berangkatlah
kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah
dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41)
Infaq di jalan
Allah menjadi sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan dalam jihad fii
sabilillah, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit. Dalam ayat
tersebut secara gamblang disebutkan bahwa berjihadlah dengan harta dan jiwamu.
Para sahabat
radhiyallahu ‘anhum berlomba-lomba menginfaqkan harta mereka setiap kali seruan
infaq datang kepada mereka. Abu Bakar menginfaqkan seluruh hartanya kepada
Rasulullah, Umar menginfaqkan separuh hartanya kepada Rasulullah, Utsman bin
Affan pernah menginfaqkan seribu ekor unta berikut isinya. Pantaslah para muassis
dakwah pada zaman sekarang ini pun mengandalkan penggalangan dana dari infaq
para pendukungnya dengan slogan shunduuqunaa juyuubuna. Tidak
mengandalkan kepada uluran tangan dan belas kasihan orang lain. Asy-Syahid
Hasan Al-Banna pernah menolak pemberian dari kerajaan Inggris untuk aktivitas
dakwah beliau.
Mengapa kita
diharuskan berjihad dengan harta kita? Hal itu disebabkan karena kebatilan pun
untuk bisa eksis, didukung oleh para pendukung kebatilan (orang-orang kafir)
yang berani mengeluarkan biaya besar. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang)
dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan
bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahannamlah
orang-orang yang kafir itu dikumpulkan,” (QS. Al-Anfal: 36)
Oleh karena itu,
pelalaian akan infaq di jalan Allah ini akan menyebabkan surutnya kembali
cahaya Islam dan tertutupinya kebenaran Islam. Tertutup oleh kegelapan
kebatilan dan kezhaliman yang mengobral harta mereka untuk melawan kebenaran.
Perhatikanlah
dalam penggalan sejarah ketika para sahabat berkeinginan meminta dispensasi
kepada Rasulullah untuk tidak lagi berinfaq dan meninggalkan dakwah yang telah
maju di Madinah untuk sekadar memetik keuntungan duniawi. Permintaan dispensasi
tersebut dijawab oleh Allah dengan sebuah penegasan untuk berinfaq di jalan
Allah SWT.
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Semoga Allah SWT
senantiasa melapangkan rezki kepada kita dan memberikan kekuatan kepada kita
untuk berinfaq di jalan Allah SWT dalam menegakkan agama Allah di muka bumi
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar